Dadu

By | 19 May 2008

abis utak-atik komputer di rumah yang harddisknya udah kepenuhan, eh dapetin ini. Met baca aja ya

Ketika saya pulang di sebuah senja, saya masih melihatnya duduk di
sana. Seorang wanita empat puluhan duduk dalam kiosnya di tepi seruas
jalan di kotaku yang telah ribuan kali kulewati. Puluhan tahun yang
lalu ketika usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios itu
sudah ada disana. Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang
kelontong.

Ketika itu mobil kami berhenti di depan kiosnya dan wanita itu datang
menghampiri membawa apa yang biasanya kami inginkan, majalah Ananda
dan Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk ayah.
Demikian terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama bertahun-
tahun hingga tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera
baca, saya tak lagi menemui wanita itu.

Sekonyong-konyong di senja itu, tatapan mata saya ke luar angkot yang
tengah membawa saya pulang ke rumah, menyapu kios itu dan wanita yang
sama di dalamnya. Bedanya, kali ini ia tak lagi menjajakan koran dan
majalah. Hanya rokok, minuman cola, air mineral, dan sejumlah barang
lain. Apakah itu semacam kemunduran perniagaan, saya tak tahu persis.
Yang tampak jelas bagi sel-sel kelabu saya adalah kenyataan bahwa ia,
untuk menafkahi hidupnya, masih saja duduk di tempat yang sama,
setelah lewat bertahun-tahun.

Suatu sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya tumpangi, saya
menatap puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang lintasan rel yang
menuju stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba dan juga pertanyaan.
Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan cepat. Apa yang
begitu menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya, sehingga mereka
sanggup bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh Jakarta yang
keras. Apakah itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu penjaja koran
yang tinggal di Semarang dan mereka yang tinggal di kompleks kumuh
Jakarta tetap bertahan di sana?

Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa. Tetapi keponakan
saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.

Saat itu saya sedang bermain berdua dengannya: Ular-Tangga. Setelah
beberapa lama bermain dan bosan mulai merambati benak, saya meraih
surat kabar dan mulai membaca-baca. Nanda, keponakan saya itu,
kemudian berkata, “Ayo jalan! Gililan Om. Kalo nggak jalan juga, Om
bakal nggak naik-naik, di situ telus, dan mainnya nggak selesai-
selesai.”

Saya tersadar.

Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah contoh yang
bagus tentang permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang harus
dilewati. Ada Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih
tinggi. Ada Ular yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.

Kita hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada
papan yang bernama kuliah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau
tidak dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus
melangkah. Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap
orang harus mengocok dan melempar dadunya. Dan sebatas itulah ikhtiar
manusia: melempar dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori
peluang). Hasil akhirnya, berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak
kuasa Tuhan. Apakah Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah-
lah yang mengatur. Dan disitulah nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas
melempar dadu.

Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka
bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu.
Mereka yang malang itu, terus saja ada di sana. Menerima keadaan
sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu.

Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana.
Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan
permainannya.

Setiap kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa
di antara sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara
orang yang optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si
Pesimis menemukan kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.
(“Sang Dadu” oleh Edy Pratolo – Suaramerdeka)

sumber : Motivasi_Net@yahoogroups.com

8 thoughts on “Dadu

  1. bayu

    setuju dengan postingan diatas.
    semua kita terjebak dengan hukum rata2/perbandingan.
    berapa kali mencoba = hasil.
    tidak mencoba = tidak ada hasil,..

    sip

    posting terakhir bayu – bayu.or.id adalah Mengganti Default Gravatar

    Reply
  2. yusdi

    keren

    “lemparkan dadu dan bermainlah”
    teruslah berjuang, berani ambil resiko dan tantangan.
    dan bersiap menerima hasilnya(baik/buruknya)..

    dan terakhir jangan lupa berdoa.

    berdoa dan berusaha agar semua yang diinginkan bisa tercapai

    posting terakhir yusdi – http://yusdi.wordpress.com adalah Hit Counter Cantik

    Reply
  3. Okta Sihotang

    Mereka yang takut melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana.
    Mereka yang enggan melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan
    permainannya.

    pas bgt tuh 😉

    yup, dadu emang harus dilempar

    posting terakhir Okta Sihotang – http://ochta.wordpress.com adalah I`m back again guys …

    Reply
  4. Riyogarta

    Bagus nih umpama ular tangganya … sip banget. Setuju.
    Banyak diantara kita yg enggan mencoba karena sudah dibarengi oleh pesimis dan rasa takut akan kegagalan. Padahal, adalah lebih baik mencoba dan gagal dibandingkan tidak mencoba sama sekali.

    betul banget oom

    posting terakhir Riyogarta – http://riyogarta.com adalah Gatering?

    Reply
  5. galih

    jadi inget waktu ikutan milis milis gitu, emailku penuh yang sperti ini :p

    *maaf yach oot*

    tapi, aku seneng kalo emailku penuh dengan hal-hal berguna seperti ini karena bisa menambah motivasi

    posting terakhir galih – galih.net adalah themeku

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *